Saturday 5 December 2009

Konsep Jung (3)

Diri yang "Ideal"

Diri, sebagai sebuah archetype mewakili tabiat ideal dan spiritual dari lakilaki dan wanita. Ketika diri muncul di dalam mimpi, biasanya menunjukkan bahwa proses individuasi telah selesai. Dalam mimpi seorang laki-laki, diri muncul sebagai laki-laki tua yang bijak. Dalam mimpi seorang wanita, figur ini berwujud ibu yang agung. Masing-masing dari figur ini memiliki empat aspek yang mewakili empat sifat dari kekuatan jiwa, yakni kecerdasan, emosi, kepraktisan, dan intuisi. Namun sifat-sifat ini juga memiliki aspek positif dan negatifnya (Carl Gustav Jung, 1989: 10).

Keempat aspek ganda dari kewanitaan dan kelelakian tersebut membentuk karakteristik archetype dasar dari seorang individu. Jarang sebuah aspek mendominasi sepenuhnya, namun bila hal itu sampai terjadi, maka dikenali sebagai eksentrisitas. Keseimbangan di antara keempat sifat yang posiif tadi perlu diusahakan, ditambah dengan pengenalan terhadap empat karakteristik yang berlawanan, yang dapat muncul dalam keadaan tertentu

Figur-figur archetype simbolis

Figur-figur yang muncul didalam mimpi mewakili sifat-sifat yang tersembunyi di dalam diri kita. Ini dapat disimbolkan dengan benda atau tokoh. Misalnya, laba-laba betina yang suka menyantap pejantannya ( jenis Black Widow ), menggambarkan aspek negatif dari ibu atau istri. Dongeng tentang pangeran dan puteri yang hidup berbahagia sampai akhir masa, Cinderella, dan Putri Salju, adalah gambaran sifat-sifat romantis. Ketika kita sedang mencari pasangan lain jenis, citra-citra inilah yang menyamar di alam tidur kita, seperti kata ungkapan " pria dan wanita impian" (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 94 - 96).

Bagi Jung mimpi adalah upaya memanipulasi reaksi terhadap lingkungan dengan persona sebagai pemeran subyek dalam mimpi. Persona dalam mimpi dapat berwujud berbagai bentuk: figur ibu, laki-laki, perempuan ataupun seribu wajah. Persona memang dapat bersandiwara memerankan arketif, berupa bayangbayang (the shadow). Mimpi adalah gambaran adanya arketif-araketif purbakala, seolah-olah mimpi merupakan arena menemukan kembali jati diri kuno sebelum berevolusi. Jika kita mengikuti pendapat Jung, maka boleh jadi seorang bayi yang tidur sambil tersenyum, menggambarkan ia sedang bermimpi hidup di surga, suatu alam sebelum ia lahir ke bumi, karena bagi Jung mimpi indah adalah bayang-bayang pengalaman surgawi.

Terdapat pula bayang-bayang yang terbentuk dari insting hewani yang terproyeksikan dalam simbol-simbol tertentu. Sebagai misal: perasaan bersalah (dosa) diproyeksikan dalam bentuk mimpi tentang kejahatan atau musuh. Salah satu cara untuk mengenali figur yang digambarkan oleh bayangan dalam mimpi, kita perlu memeriksa reaksi yang paling negatif atau positif perasaan kita pada orang dan lingkungan di sekitar kita, baik figur ayah maupun ibu.

Pemilihan simbol-simbol mimpi dapat berasal dari lingkungan internal dan eksternal. Simbol yang diperoleh dari luar merupakan simbol yang berhasil direkam oleh individu, simbol-simbol ini mudah untuk dimaknai karena terjadi dalam tataran kesadaran. Berbeda dengan simbol-simbol yang diperoleh dari internal, yakni kumpulan kolektif-ketidaksadaran, akan melahirkan mimpi yang mistis, aneh, dan karena tidak biasa menganggapnya sebagai omong kosong.

Kenyataannya, di dalam mimpi kita melakukan komunikasi dengan diri kita sendiri. Bahasa yang kita pergunakan tidaklah harus simbolik, melainkan imajinatif yang sangat kuno yang hanya dimengerti dengan bahasa sensasi, pikiran, emosi, dan memori kejiwaan arketif.
Simbol-simbol arketif ini relatif sama bagi semua manusia, karena kita mengalami masalah kehidupan yang sama, kecemasan, kesulitan, ambisi, keinginan, frustasi, insting, dan dorongan yang kesemuanya diwakili oleh bahasa imajinasi yang sama.

No comments: