Wednesday 18 November 2009

SPIRITUALITAS DLM PSIKOLOGI EKSISTENSIAL (3)

*III *

Pengembaraan dalam mencari eksistensi kita, dapat kita temukan ketika
kita berupaya memahami makna hidup kita sendiri. Saat kita menyadari
dalam hal apa kita adalah unik. Berbeda dari orang lain, tugas unik apa
yang telah kita penuhi, yakni suatu tugas yang hanya dapat dipenuhi oleh
seorang seperti aku, dan tidak ada seorang pun yang sama seperti
aku. Penemuan makna memberi kita suatu pemahaman mengenai takdir, semua
kegembiraan dan kesedihan tampak menjadi bagian yang sesuai dari
keseluruhan riwayat hidup kita. Ibarat kepingan-kepingan keramik
yang membentuk sebuah mozaik perjalanan hidup kita. Setiap
kepingan-kepingan tersebut pasti bermanfaat, tidak ada yang sia-sia.
Setiap peristiwa adalah satu langkah yang mendekatkan kita untuk menjadi
manusia sepenuhnya, yang memenuhi suatu peran yang memang hanya
untuk kita.

Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall,
2002), ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah
jalan hidup kita -menyusun kembali hidup kita yang porak poranda-, yaitu
pertama, makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self
discovery), kedua, makna muncul ketika kita menentukan pilihan,
hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam suatu keadaan,
ketika kita tidak dapat memilih, ketiga, makna dapat kita temukan
ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain,
keempat, makna membersit dalam tanggung jawab, kelima, makna
mencuat dalam situasi transendensi, gaungan dari keempat hal di atas,
ketika mentransendensikan diri kita melihat seberkas diri kita yang
autentik, kita membuat pilihan, kita meras istimewa, kita menegaskan
tanggung jawab kita. Transendensi adalah pengalaman yang membawa kita ke
luar dunia fisik, ke luar dari pengalaman kita yang biasa, ke luar dari
suka dan duka kita, ke luar dari diri kita yang sekarang, ke konteks
yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual.
Kita dihadapkan pada makna akhir (the ultimate meaning) yang
menyadarkan kita akan aturan Agung yang mengatur alam semesta. Kita
menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan me
ngikuti rancangan besar (grand design) yang ditampakkan kepada kita.
Inilah dimensi spiritual dari ajaran logoterapi Victor E. Frankl.

Hanna Djumhana Bastaman (1994), menyimpulkan tentang logoterapi
berpandangan bahwa manusia dengan kesadaran dirinya mampu melepaskan
diri dari ancaman-ancaman pengaruh lingkungan dan berbagai bentuk
kecenderungan alami ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu
dalam dirinya sendiri. Dengan logoterapi kita dapat menemukan hasrat
hidup bermakna (the will to meaning) sebagai motiv dasar manusia, yang
berlawanan dengan hasrat hidup senang (the will to pleasure) dari
Freud, dan hasrat hidup berkuasa (the will to power)nya Alfred Adler.
Dalam pandangan logoterapi the will to pleasure merupakan hasil (by
product) dan the will to power merupakan sarana untuk memenuhi the
will to meaning.

Menurut ajaran logoterapi, bahwa kehidupan ini mempunyai makna dalam
keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaaan sekalipun,
hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini,
Manusia memiliki kebebasan dalam upaya menemukan makna hidup, yakni
melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan
dihayati -termasuk cinta kasih-, atau dalam setiap sikap yang diambil
terhadap keadaan dan penderitaan yang tidak mungkin terelakkan. Manusia
dihadapkan dan diorientasikan kembali kepada makna, tujuan dan kewajiban
hidupnya. Kehidupan tidak selalu memberikan kesenangan kepada kita,
tetapi senantiasa menawarkan makna yang harus kita jawab. Tujuan hidup
buka nlah untuk mencapai keseimbangan tanpa tegangan, melainkan sering
dalam kondisi tegangan antara apa yang kita hayati saat ini dengan
prospek kita di masa depan. Logoterapi memperteguh daya tahan psikis
kita untuk menghadapi berbagai kerawanan hidup yang kita alami.

Dalam prakteknya logoterapi dapat mengatasi kasus fobia dengan
menggunakan teknik paradoxical intention, yaitu mengusahakan agar
orang mengubah sikap dari yanh semula memanfaatkan kemampuan mengambil
jarak self detachment terhadap keluhan send iri, kemudian
memandangnya secara humoritas. Logoterapi juga dapat diterapkan pada
kasus-kasus frustasi eksistensial, kepapaan hidup, kehampaan hidup,
tujuannya adalah membantu kita untuk menyadari adanya daya spiritual
yang terdapat pada setiap orang, aga r terungkap nyata (actual) yang
semula biasanya ditekan (repressed), terhambat (frustasi) dan
diingkari. Energi spiritual tersebut perlu dibangkitkan agar tetap teguh
menghadapi setiap kemalangan dan derita.

Dalam kehidupan, mungkin hasrat hidup bermakna sebagai motif utama tidak
dapat terpenuhi, karena ketidakmampuan orang melihat, bahwa dalam
kehidupan itu sendiri terkandung makna hidup yang sifatnya potensial,
yang perlu disadari dan ditemukan, keadaan ini menimbulkan semacam
frustasi yang disebut frustasi eksistensial, yang pada umumnya diliputi
oleh penghayatan tanpa makna (meaningless). Gejala-gejalanya sering
tidak terungkapkan secara nyata, karena biasanya bersifat "latent" dan
terselubung. Perilaku yang biasanya merupakan selubung frustrasi
eksistensial itu sering tampak pada berbagai usaha kompensasi dan hasrat
yang berlebihan untuk berkuasa, atau bersenang-senang, mencari
kenikmatan duniawiyah (materialisme). Gejala ini biasanya tercermin
dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang, manic-bekerja
(wokerholic), free sex, dan perilaku hidonisme lainnya.

Frustrasi eksistensial akan terungkap secara eksplisit dalam penghayatan
kebosanan dan sifat apatis. Kebosanan merupakan ketidakmampuan sesorang
untuk membangkitkan minat, sedangkan apatisme merupakan ketidak mampuan
untuk mengambil prakarsa (inisiatif). frustrasi eksistensial adalah
identik dengam kehampaan eksistensial, dan merupakan salah satu faktor
yang dapat menjelmakan neurosis. Neurosis ini dinamakan neurosis
noogenik, karena karakteristiknya berlainan dengan neurosis yang
klinis konvensional. Neurosis noogenik tidak timbul sebagai akibat
adanya konflik antara id, ego, superego, bukan konflik insingtif, bukan
karena berbagai dorongan impuls, trauma psikologis, melainkan timbul
sebagai akibat konflik moral, antar nilai-nilai, hati nurani, dan
problem moral etis, dan sebagainya (Bastaman, 1995).

Kehampaan eksistensial pada umumnya ditunjukkan dengan perilaku yang
serba bosan dan apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa
kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan. Logoterapi membantu
pribadi untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dan menyadarkan akan
tanggung jawabnya, baik terhadap diri sendiri, hati nurani, keluarga,
masyarakat, maupun kepada Tuha. Tugas seorang logoterapis dalam hal ini
adalah sekedar membuka cakrawala pandangan klien dan menjajaki
nilai-niliai yang memungkinkan dapat diketemukan makna hidup, yaitu
nilai-nilai kritis, kreatif, dan sikap bertuhan. Dengan demikian
logoterapi mencoba untuk menjawab dan menyelesaikan berbagai problem,
krisis, dan keluhan manusia masa kini, yang initinya adalah seputar
hasrat untuk hidup secara bermakna.

Dalam prakteknya, logoterapis membantu klien agar lebih sehat secara
emosional, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah memperkenalkan
filsafat hidup yang lebih sehat, yaitu mengajak untuk menemukan makna
hidupnya. Menemukan makna hidup merupakan sesuatu yang kompleks. Pada
banyak kasus, logoterapis hanya dapat mengajak klien untuk mulai
menemukannya. Logoterapis harus menghindar untuk memaksakan suatu makna
tertentu pada klien, melainkan mempertajam kepada klien akan makna
hidupnya. Mungkin cara yang lebih baik yang dapat dilakukan seorang
logoterapis guna membantu klien agar mengenali apa yang ingin ia lakukan
dalam hidup adalah memperdulikan dan menciptakan atmosfir yang
bersahabat, sehingga klien bebas menjelajahi keunikan dirinya tanpa
merasa takut ditolak. Sebagimana setiap orang yang sedang jatuh cinta
pada umumnya mampu secara intuitif mengenali makna unik apa yang
terdapat dalam hidup orang yang dicintainya.

No comments: