Tuesday 17 November 2009

SPIRITUALITAS DLM PSIKOLOGI EKSISTENSIAL (2)

*II *

Peradaban Barat modern dengan revolusi industri yang membuat suatu
syndrome kehampaan eksistensial dengan ditandai oleh kebosanan,
kehampaan, ketiadaan tujuan, masyarakat mengalami dehumanisasi, yang
tidak peduli terhadap apa yang akan dilakukan dalam hidup. Semuanya
berasal dan datang dari kondisi masyarakat yang tidak menguntungkan.
Revolusi industri menjadikan seorang pekerja mengabdi kepada kepentingan
majikan, dan kehilangan semua hubungan dengan barang yang diproduksinya.
Hilangnya hubungan pribadi (individualisme), permisifisme, tidak
adanya pandangan bersama mengenai kehidupan yang lebih baik di masa
depan, lebih mengutamakan suatu hal yang bersifat materi (Materialisme,
kapitalisme, hedonisme), dan mengabaikan hal-hal yang spiritual. Erich
Fromm (1988) menyatakan bahwa banyak orang merasa dirinya seperti
komoditi yang diperjualbelikan dan pada saat berikutnya menjadi penjaja
komoditi. Dunia Barat kontemporer telah menghasilkan manusia hampa yang
mencari makna. Jika di masa lalu orang neurotik itu diibaratkan seperti
orang patah kaki, maka dalam dunia modern, seorang neurotik umumnya
adalah orang yang memiliki dua kaki sempurna tetapi tidak tahu ke mana
kaki itu harus pergi melangkah???

Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab "kecemasan
eksistensial", hal ini merupakan aspek terpenting yang menentukan
apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah pertama,
kematian: kita semua adalah makhluk yang fana', kematian sewaktu-waktu
akan dating menjemput kita. Kedua, takdir, garis kehidupan kita
mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bisa
diramalkan atau dikendalikan. Ketiga, keharusan untuk membuat
pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga
cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa
informasi yang cukup, b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung
untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi,
c). menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya (Zainal
Abidin, 2002).

Gambaran tentang adanya kecemasan eksistensial ini dapat kita jumpai
misalnya yang terjadi di kalangan mahasiswa, tampak kecenderungannya
untuk hidup demi kepuasan sesaat, penggunaan Narkotika, hidup hura-hura,
berpesta pora, pergaulan bebas, sampai seks bebas, kegairahan yang besar
terhadap unsur-unsur fisik (hedonisme) merupakan bukti adanya krisis
kebermaknaan hidup. Pemuasan pada kepuasan sementara hanya merupakan
penambal pada kekosongan dan kebosanan yang berakar dari ketiadaan
makna? Untuk apa mereka hidup?

Hilangnya makna, kehampaan eksistensial yang lazim terjadi di zaman
modern sekarang ini dalam buku Man's seach for meaning (Frankl, 1963)
dijelaskan bahwa mereka tersebut tidak sendirian menghadapi hidup yang
tak bermakna, mereka pada dasarnya merupakan bagian dari "invisible
community" yang mengalami kehampaan serupa. Frankl memberi pesan bahwa
kita harus memiliki keberanian dan kesabaran. Yakni keberanian untuk
membiarkan masalah ini untuk sementara waktu tak terpecahkan, dan
kesabaran untuk tidak menyerah dan mengupayakan penyelesaian.

Inti ajaran Frankl adalah pandangan bahwa menjalani hidup dimaksudkan
untuk suatu tujuan tertentu. Motivasi utama dari manusia adalah untuk
menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Pencarian makna yang kita
lakukan merupakan fenomena kompleks yang membutuhkan penggalian, dan
untuk memahaminya kita harus "menjalaninya". Tentang "makna" menurut
Zainal Abidin (2002), ada dua hal yang perlu diperhatikan; Pertama,
makna tidak sama dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah suatu
proses yang menjadikan kita seperti adanya kita, dimana kita
mengembangkan dan menyadari cetak biru (blue-print) dari potensi dan
bakat kita sendiri. Namun, meski seseorang sanggup sepenuhnya
mengembangkan potensinya, belum tentu ia telah memenuhi makan hidupnya.
Makna tidak terletak pada diri kita, melainkan terletak di dunia luar.
Kita tidak menciptakan makna, atau memilihnya, melainkan harus
menemukannya. Dengan kata lain, untuk dapat menemukan makna kita harus
ke luar dari persembunyian dan menyongsong tantangan di luar sana yang
memang ditujukan kepada kita. Tujuan makna adalah sesuatu yang
"transcendental", sesuatu yang berada di luar "pemiliknya" (Frankl,
1963). Maka ketika seseorang mencari bimbingan untuk menjatuhkan
pilihanya, tidak akan ia menjumpai kekosongan, tetapi ia menemukan makna
hidupnya pada sesuatu di luar atau di atas dirinya. Hidup tidaklah
semata mengarahkan diri pada realisasi diri ataupun sesuatu dalam diri
kita, melainkan mengarahkan diri pada makna yang harus kita penuhi.
Dengan begitu "kefanaan" menjadi kurang menakutkan. Maknalah yang
memelihara hidup kita. "Melekatkan diri pada sesuatu yang melebihi usia
hidup memberi manusia suatu keabadian". Keterasingan dari dunia,
lantaran cara hidup serba mekanis, menjadi berkurang ketika kita tahu
bahwa kita berada di dunia untuk suatu tanggung jawab yang mesti
dipenuhi. Manusia mampu bertahan hidup di gurun yang sangat tandus, jika
gurun tersebut menawarkan suatu tugas yang harus dipenuhi. Sebaliknya
ada orang yang mati bunuh diri minum racun di istana mewah karena tidak
tahu untuk apa dia hidup.

Kedua, hidup setiap orang memiliki makna yang unik, setiap orang
memiliki peran unik yang harus dipenuhi atau diperankan, suatu peran
yang tak dapat digantikan oleh orang lain. Setiap orang lahir ke dunia
ini mewakili sesuatu yang baru, yang itu tidak ada sebelumnya. Sesuatu
yang original dan unik. Tugas setiap orang adalah untuk memahami bahwa
tidak pernah ada seorang pun serupa dirinya, karena jika memang pernah
ada seseorang yang serupa dengan dirinya, maka ia tidak diperlukan.
Setiap orang adalah sesuatu yang baru, dan harus memenuhi suatu tugas
dan panggilan mengapa ia diciptakan di dunia ini (Buber dalam Zainal
Abidin, 2002).

No comments: