Tuesday 17 November 2009

SPIRITUALITAS DLM PSIKOLOGI EKSISTENSIAL (1)

*I *

Di Wina Austria, Victor Emil Frankl dilahirkan pada tanggal 26 Maret
1905 dari keluarga Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi, nilai-nilai
dan kepercayaan Yudaisme. Hal ini berpengaruh kuat atas diri Frankl yang
ditunjukkan oleh minat yang besar pada persoalan spiritual, khususnya
persoalan mengenai makna hidup. Di tengah suasana yang religius itulah
Frankl menjalani sebagian besar hidupnya.

Dalam bagian pertama buku Man's Seach for Meaning Frankl, 1963),
mengisahkan penderitaan Frankl selama menjadi tawanan Yahudi di
Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya. Kehidupannya
selama tiga tahun di kamp konsentrasi adalah kehidupan yang mengerikan
se cara kejam. Setiap hari, ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam,
penyiksaan, penembakan, pembunuhan masal di kamar gaas atau eksekusi
dengan aliran listrik. Pada saat yang sama, ia juga melihat
peristiwa-peristiwa yang sangat mengharukan; berkorban untuk rekan,
kesabaran yang luar biasa, dan daya hidup yang perkasa. Di samping para
tahanan yang berputus asa yang mengeluh, "mengapa semua ini terjadi
pada kita? "mengapa aku harus menanggung derita ini?" ada juga para
tahanan yang berpikir "apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti
ini?". Yang pertama umumnya berakhir dengan kematian, dan yang kedua
banyak yang lolos dari lubang jarum kematian.

Menurut Jalaluddin Rakhmat (Pengantar dalam Danah Zohar & Ian Marshall,
2002), hal yang membedakan keduanya adalah pemberian makna. Pada manusia
ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan bahkan oleh pagar kawat
berduri sekalipun. Itu adalah kebebasan untuk memilih makna. Sambil
mengambil pemikiran Freud tentang efek berbahaya dari represi dan
analisis mimpinya, Frankl menentang Freud ketika dia menganggap dimensi
spiritual manusia sebagai sublimasi insting hewani. Dengan landasan
fenomenologi, Frankl membantah dan menjelaskan bahwa perilaku manusia
tidak hanya diakibatkan oleh proses psikis saja. Menurutnya, pemberian
makna berada di luar semua proses psikologis. Dia mengembangkan teknik
psikoterapi yang disebut dengan Logoterapi (berasal dari kata Yunani
"Logos" yang berarti "makna").

Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga
dimensi; fisik, psikis, spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan,
kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual
diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara
untuk urusan phisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi telah
mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan
(Jalaluddin Rahmat, 2004).

Frankl menyebut dimensi spiritual sebagai "noos" yang mengandung
semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna,
orientasi-orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita,
intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita
untuk mencintai di luar kecintaan yang phisik­psikologis, kemampuan
mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego, secara humor
kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasa diri kita atau kemampuan
untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri
atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar
tujuan yang kita yakini. Dalam dunia sp iritual, kita tidak dipandu,
kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam
tak sadar kita. Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan
perbendaharaan kesehatan spiritual ini.

No comments: