Saturday 19 April 2008

Menuju Ekstase Spiritual

(Oleh: Ammar Fauzi Heryadi)
“Kesadaran ini disebut para arif dengan yaqdzah, sebagai langkah dan maqam pertama setiap pesuluk. Ia adalah insaf, yaitu mau memahami diri sendiri, apa adanya, secara jujur dan tulus. Sebaliknya, ketidaktahuan dan kemasabodohan akan kesadaran itu disebut para ahli Logika sebagai jahal murakkab, artinya kebodohan kuadrat. Artian ini memang terasa kasar oleh emosi, tapi sungguh tersentuh lembut oleh akal waras”

Silverstein, novelis asal Amerika, pernah berkias, “Ikan kecil yang memangsa ikan teri, akan dimangsa oleh ikan besar. Ketika itu, hanya ikan paling besar yang bisa bertahan gemuk. Tentunya, ada manusia-manusia semacam itu dalam masyarakat.”
Masyarakat apakah itu? Silverstein hanya melaporkan sebuah corak kehidupan, paling tidak tentang negerinya sendiri, kepada kita.
Mungkin ada baiknya kita mengingat ikan-nya Jalaluddin Rumi, pujangga Parsi yang arif. Kiasnya, ikan-ikan itu hidup dalam toples air. Sedemikian jernihnya air itu, mereka lupa akan arti hidup dan air. Hanya ikan yang meloncat keluar yang mampu kembali sadar.
Jawab Rumi, manakala manusia lupa diri dan hidupnya, ia akan siap ditumbal atau menumbal manusia lain. Masyarakat yang tertata dengan pola hidup ini, adalah cangkokan sekumpulan manusia-manusia itu. Tak ubahnya dengan kawanan srigala. Dalam parodinya yang mengenaskan, Tomas Hobbes menuntaskan, Homo Homini Lupus.
Kilau dunia bak jernihnya air itu. Ditambah hasrat yang tak terpuaskan, manusia terus mengejar pijar-pijarnya. Rentetan benturanpun meletup-letup di sepanjang pengejaran, sebanyak jumlah gelombang hasrat di setiap dada. Ketika ada yang menang, ketika itu pula harus ada tumbal. Dulu, orang terpaksa diseret jadi tumbal. Sekarang, modernitas yang hedonis membuat mereka dengan bebas dan suka rela memilih jadi tumbal (kapital), secara alienatif, atau bahkan nihilis.
Apapun tumbal-menumbal, tidak ada perintah menumbalkan diri, tidak ada izin menyia-nyiakan diri, tidak ada sudi menghancurkan diri, dari siapapun. Karena, diri setiap orang adalah totalitas wujudnya yang tak bisa ditawar. Maka, persoalan di dalam toples ikannya Rumi itu cukup jelas, Apakah aku? Apakah hidup? Apakah totalitas wujudku?
Dunia Kita
Anthony Giddens di pengantar bukunya, Modernity and Self Identity, mengingatkan bahwa modernitas pada dasarnya melahirkan perbedaan, pendepakan (kualifikasi) dan marginalisasi. Kalaulah perbedaan dipandang wajar, dua implikasi berikutnya mampu membiakkan sejumlah resiko yang mengerikan. Menurutnya, di dunia modern terkini (high modernity), resiko itu tidak nampak. Tapi itu semua sangat potensial terjadi. Giddens mengkhawatirkan persaingan industri persenjataan, pencemaran lingkungan, pemberangusan total tatanan-tatanan ekonomi dunia, dan akhirnya kebangkitan kekuatan totalitarian.
Kapan terjadi? Kapan saja, secepat perubahan dunia ini yang disebutnya mirip pelari sprint. Maka, setiap saat bisa terjadi pendepakan, seketat tenggat dari satu aksi marginalisasi ke lainnya, dengan menebar luas ekses-eksesnya, seluas arti globalisasi.
Kekhawatiran Giddens bukan yang pertama kalinya. Persis satu abad silam, pengagas Hadiah Nobel, Alfred Nobel, dalam surat wasiatnya tertanggal 27 November 1895, ia menulis bahwa Hadiah Nobel harus diberikan kepada karya -yang merujuk pada Discovery, invention, atau improvement- yang “bermanfaat bagi kemanusiaan”. Keinginan untuk memberikan hadiah itu berawal dari kesadaran Alfred akan dahsyatnya daya rusak dinamit, setelah lama ia percaya penemuan dinamit sebagai lambang perdamaian. Namun, sampai kematiannya, dia tidak pernah menyaksikan perdamaian benar-benar terwujud di muka bumi. Bahkan formula temuannya itu dipakai sejumlah pihak untuk merusak perdamaian. Hingga setengah abad kemudian, Adorno dan Horkheimer menegaskan kekuatiran Alfred sambil berijma’, bahwa “Permasalahan terpenting di dunia sekarang ini adalah, bagaimana kita bisa mengendalikan teknologi?” untuk lalu menganjurkan “kita semua harus mengerahkan segala usaha dan kemampuan kita”.
Akan menjadi lebih bijak untuk tidak menanti lebih dari gereget dua post-modernis itu. Wajar jika dua tokoh mazhab Frankfurt itu lebih menekankan ke-bagaimana-an ketimbang ke-apa-an. Mereka hidup di pusaran air suatu toples yang sarat dengan Positifisme dan Pragmatisme, dua arus pemikiran yang tidak mau memahami “Apakah”.
Punah atau belum, tidak lagi penting. Yang jelas, Giddens lebih tahu sejauh mana ekses-ekses keduanya merembas ke dalam cara hidup dan pola berfikir di toplesnya atau di toples-toples lainnya.
Apakah pola hidup dan logika berfikir positifistik dan pragmatis berikut eksesnya mesti dikhawatirkan atau disambut?
Jelas, jarak antara bagaimana dan apakah sangat rentang. Apakah berbincang tentang esensi, bagaimana membicarakan instrumen. Apapun instrumen itu, tidak punya nilai dan tidak perlu penilaian. Suatu alat dan cara hanya akan bernilai ketika dikaitkan dengan pelaku dan objektifnya. Jika mempersoalkan cara mengendalikan teknologi untuk perdamaian, maka persoalan yang tidak terpisahkan adalah apakah perdamaian yang sesungguhnya? Jika menganjurkan optimalisasi instrumen, alat, kemampuan dan upaya, maka tidak akan mungkin dilakukan selama pelaku sains, teknologi dan dinamit tidak pernah diusik; apakah pelaku? Instrumen tergantung pada pelaku. Ia hanya akan mengarahkan dan mengendalikan instrumen yang digenggamnya searah dengan pemaknaannya tentang dirinya sendiri dan fungsi instrumen.
Kita selalu mendambakan kebaikan dan kedamaian. Faktanya, kedamaian dan kebaikan itu beragam, sebanyak pemaknaan setiap kepala tentangnya. Arah gerak dan modus operandi menempuh kebahagian ditentukan oleh pengertian kita akan kebagaiaan itu sendiri. Tumbal-menumbal yang terjadi akhir-akhir ini karena bedanya pemaknaan HAM, kebebasan, perdamaian, demokrasi, terorisme, seiring dengan perbedaan pada pemaknaan kepentingan dan kebahagian masing-masing pihak. Semaraknya ketangkasan berdefinisi di antara pejabat-pejabat tertinggi setiap negara, pasti disambut senyum Arestoteles. Jika ia diberi umur panjang, anak-anaknya Marx akan setengah hati mengabadikan firman sang bapak, “Filsuf sibuk hanya dengan mengartikan dunia, dan aku datang untuk mengubah dunia”.
Maka, permasalahan yang sebenarnya, meski -sekali lagi- perlu waktu dan sabar untuk menanggapinya, adalah “Apakah kebaikan dan kebahagiaan? Apakah hidup yang bahagia? Apakah hidup? Siapakah yang hidup? Apakah yang baik? Siapakah yang bahagia?
Dekonstruksi
Immanuel Kant, filosof besar asal Jerman, merangkum masalah-masalah itu dengan mengajukan tiga pertanyaan esensial; Pertama, “Apakah yang bisa Aku ketahui? Kedua, “Apakah yang semestinya Aku lakukan? Ketiga, “Apakah harapan yang bisa aku raih?
Pertanyaan pertama menyoal diri. Bagaimanapun seorang skeptis meragukan apapun, ia tidak akan bisa meragukan realitas (keberadaan) dirinya. Maka, sesuatu yang bisa kita ketahui adalah realitas diri kita sendiri.
Lalu, apakah realitas diri kita? Tidak syak lagi, bahwa setiap manusia memiliki masa lalu dan masa depan. Maka, pertanyaan yang lebih cermat adalah; Pertama, “Apakah masa lalu diriku?” Kedua, “Apakah masa depan diriku?”
Apapun yang kita lupakan tentang masa lalu, kita tidak akan lupa bahwa kita pernah tidak ada lalu dilahirkan. Detik pertama kelahiran itulah awal diri kita sebagai realitas.
Jika kita cecar lebih lanjut, maka pertanyaan yang muncul berikutnya adalah “Apakah awal realitasku? Dengan demikian, buntut pertanyaan Kant pertama itu berkaitan dengan sangkaan (sumber wujud).
Adapun pertanyaan “Apakah masa depan diriku?” tidak beda dengan pertanyaan Kant yang ketiga. Tentunya, menuntaskan masalah masa depan dan harapan kita, akan mengimplikasikan pertanyaan Kant yang kedua, “Apakah yang semestinya aku lakukan untuk meraih harapan dan menyongsong masa depan itu?
Singkatnya, pertanyaan pertama menyoal masalah asal-usul realitas. Kedua menyoal masalah nasib atau akhir realitas. Dan ketiga menyoal cara hidup (way of life).
Ali, sang manusia suci itu berkata, “Rahima-llah imra-an a’adda li nafsihi wasta’adda li ramsihi, wa ‘alima min aina, wa fi aina, wa ila aina.” Niscaya Allah swt mencurahkan rahmat-Nya kepada seorang hamba yang mempersiapkan diri dan lahatnya, serta ia tahu dari mana ia datang, di mana ia berada dan akan kemana ia pergi.
Ali menggambarkan kehidupan manusia laksana perjalanan. Ada awal, ada akhir. Harus hidup berarti harus bergerak dari titik awal menuju titik akhir. Namun bergerak dalam kegelapan (kebodohan dan kemasabodohan) tak ubahnya meraba-raba, mereka-reka, penuh ragu dan gelisah. Siksaan itu menjadi semakin terasa tatkala kegelapan mengkaburkan titik awal. Anda tidak bisa lagi bergerak. Anda tidak bisa lagi berjalan. Dan, Anda pun tidak bisa lagi hidup. Anda sudah mati sebelum dimatikan. Sebut saja dunia ini living dead people, untuk tidak sekasar Scott menjuduli bukunya, The World, A Crowd of Sleepwalkers . Nasib anda tidak beda dengan sekawanan manusia yang memilih nihilisme atau bunuh diri, karena kegelisahan mereka dalam kegelapan titik akhir (baca: makna dan tujuan hidup).
Titik awal itu sepenting titik akhir. Perjalanan jadi diam dan hidup jadi mati, hanya dengan kehilangan dan kekaburan salah satu titik. Ali sekali lagi menggeledah kalbu kita, Man lam ya’rif min aina ja-a, lam ya’rif lia aina yadzhab (dia yang tidak tahu dari mana datang, niscaya tidak akan tahu kemana akan pergi). Maka, semua bergantung pada manusia. Nasib dirinya dan dunianya ada di tangannya. Inilah tanggung jawab terhadap totalitas hidup; awal, akhir dan tengahnya.
Di akhir kontemplasi falsafi, Kant menyimpulkan, bahwa tiga pertanyaan itu pada dasarnya berasal dari satu permasalahan saja, yaitu “Apakah Manusia?” kesimpulan ini membebaskan masalah awal-akhir-tengah itu dari batasan waktu. “Apakah manusia? tidak hanya berlaku pada jaman modernitas dan globalisasi. Ia tetap relevan pada setiap manusia yang hidup di setiap saat.
Dulu, Sokrates telah memulai untuk berusaha melemparkan dirinya keluar dari mulut toples kehidupan masanya yang sofistis, skeptis, hedonis. Sejak itu pula ia menggugah manusia untuk menyadari ketololan dirinya sendiri (dekonstruksi), sembari mengajak mereka mengenal dirinya (rekonstruksi). Di setiap sudut Athena ia mendzikirkan “Gnoti seauton, meden agan!” Sebuah sabda tujuh filsuf Yunani Kuno yang terukir di gerbang peribadatan Apollo. Artinya, “Kenalilah dirimu, dan jangan keterlaluan!”.
Insaf
Kata Ali, manusia di dunia ini tertidur lelap, mereka baru terjaga sadar tatkala direbut maut. Kata Sokrates, semua orang itu tahu. Kata Rumi, hanya saja mereka lalai. Kias Razi, manusia akan mengerti arti sehat sesaat setelah sakit. Kata pepatah, pandanglah kota dari atas tebing, Anda akan melihat yang sebenarnya. Semua kata-kata itu memesankan hijrah; keluar dari status quo, untuk menjadi sadar dan cermat menilai.
Dengan cara itu akan lebih mudah mengenal diri. Tak ubahnya cermin. Ia menduakan sesuatu. Ketika itu, cermin membantu kita mengenalkan diri kita dengan diri kita yang kedua yang ada di dalamnya. Cermin membantu kita keluar dari diri. Lewat cermin itu kita bisa mengamati rapih kusutnya diri kita.
Agar penilaian kita terhadap diri akurat dan cermat, mau tidak mau harus keluar dulu dari status quo diri. Tidak perlu biaya banyak untuk mencari-cari penilaian dari luar. Diri kita adalah cermin diri sendiri. Ia bahkan lebih bersih dan jujur, setulus tekad kita untuk bercermin. Ia fasih bicara sebelum ditanya. Ia blak-blakan tanpa pamrih. Balil insan ‘ala nafsihi bashirah.
Apakah status quo diriku? Apakah dunia diriku? Setiap orang punya dunia khas; kebutuhan, keingingan, gelinjang hasrat, harapan, pikiran, sikap dan perilaku, sebuah rangkaian yang mencerminkan diri seseorang. Kesamaan rangkaian menandakan kesamaan diri. Begitu pula perbedaannya.
Kesamaan dan perbedaan rangkaian bisa dikehendaki dan disadari, bisa juga dipaksakan dan tidak disadari. Paling tidak, ini yang dialami Leo Tolstoy, penulis besar Rusia abad sembilan belasan. Pada usia lima puluhan, ia mencapai puncak kebanggaan dan popularitas. Di atasnya, ia pernah berfikir, apakah aku lebih besar dari Shackspear, Poshcine, Goeppol, Muller? Dalam pengakuannya, di puncak itu pula ia hampir bunuh diri. Tolstoy gelisah menghadapi sebuah pertanyaan yang menurutnya paling sederhana di sepanjang kegiatan menulis. Katanya, sebuah pertanyaan yang ada pada setiap jiwa, dari bocah yang paling tolol, sampai si tua yang paling bijak, mengapa aku hidup? Mengapa aku menginginkan dan mengharapkan sesuatu? Mengapa aku bertindak?
Tanpa harus repot menilai diri Tolstoy, kehilangan identitas atau tidak, secara terpaksa atau sadar, ada yang lebih pantas untuk dinilai. Pernahkah kita, dengan segala ketololan dan kebijakan kita, mencoba mengusik hati, pikiran, diri kita dengan pertanyaan itu. Apakah kebutuhan diriku? Mengapa aku harus membutuhkan ini, bukan itu? Apakah keinginan diriku? Mengapa Aku harus menginginkan ini? Apakah pikiranku? Mengapa aku harus memikirkan sesuatu ini? Dan, apakah perilakuku? Mengapa aku melakukan ini? Dan akhirnya, apakah Aku? Pertanyaan-pertanyaan yang sudah terlirik sejak The Epic of Gilgamesh ditulis, belasan ribu tahun sebelum Sokrates lahir.
Mungkin terabaikan untuk beberapa hari, atau bertahun-tahun, sampai saatnya terjadi kegelisahan, membuntuti dan menghantui. Tidak heran, orang seperti Tolstoy baru menyadari pertanyaan itu secara serius, setelah diacuhkannya selama puluhan tahun. Ada permasalahan esensial tentang hakekat kemanusiaan yang belum tertuntaskan. Kata Horace, si penyair Romawi itu, Naturam expellere… Pobel usque recurret, apa artinya mencerabut kodrat, toh akan kembali ke asal. Gelisah adalah problem. mengacuhkan atau menutup-nutupi, mengelak atau menolak, selama tidak tertuntaskan, problem itu tetap problem.
Saudaraku!
Di dunia modern, industrial, kapitalis kita sekarang, ketika pilihan sedemikian banyaknya, kebutuhan dibuat-buat, keinginan dijadi-jadi, produk dipatok jadi ukuran, gelar dan status dipuja jadi nec ultra plus, hedonisme dianut jadi jalan bertindak, cara dan teknis jadi arah pikiran, jumlah orang jadi standar kebenaran, tantangan manusia sekarang semakin besar untuk menghadapi pertanyaan itu.
Sebesar apapun tantangan itu, melontarkan pertanyaan itu saja kepada diri kita sendiri sudah cukup untuk bisa keluar dari status quo diri, untuk kemudian bercermin di hadapannya. Artinya, menyadari bahwa ada sederetan pertanyaan yang belum tertuntaskan, menyangkut hidup mati dirinya. Kesadaran ini disebut para arif dengan yaqzhah, sebagai langkah dan maqam pertama setiap pesuluk. Ia adalah insaf, yaitu mau memahami diri sendiri, apa adanya, secara jujur dan tulus. Sebaliknya, ketidaktahuan dan kemasabodohan akan kesadaran itu disebut para ahli Logika sebagai jahl murakkab, artinya kebodohan kuadrat. Artian ini memang terasa kasar oleh emosi, tapi sungguh tersentuh lembut oleh akal waras. Boleh jadi, karena tidak ditemukan lagi kata yang lebih akurat.
Walhasil, kalau memang kata Horace itu benar, kalau memang melontarkan pertanyaan itu perlu, kalau memang keluar dari status quo itu lazim, kalau memang tahu diri sendiri itu penting, irfan pun menjadi penting, lazim, perlu dan benar. Maka, irfan dan kearifan bukanlah tuntunan atau milik khusus jajaran elit kaum saleh. Irfan bukan kegiatan dalam keheningan dan kesendirian. Ia mengalir di sepanjang sungai beriak. Semua manusia mau tidak mau melewati gerbang irfan. Jadi, irfan bukan tawaran, begitu tutur Ogha Behjat di Qom. Tidak ketinggalan, juga logika.
Akhirnya, Ya ayyuhalladzina amanu alaikum anfusakum, la yadhurrukum man dholla idzahtadaitum, ilalllahi marji’ukum jamian fayunabiukum bima kuntum ta’malun. (Wahai orang-orang yang beriman, waspadailah dirimu! Tiadalah orang yang sesat itu mengancam dirimu apabila kamu telah mendapat petunjuk kebenaran. Hanya kepada Allah kamu kembali, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu lakukan) (Q.5/105).
(Dikutip dari www.al-shia.com)

No comments: