Friday 8 January 2010

MENSIKAPI KOMPLAIN CARA HASAN AL BANNA (1)




Flashback

Alhamdulillah, hanya karena rahmat & izin Allah SWT sajalah. Sehingga aku al faqir ilallah ini, 20 tahun lebih bisa menikmati hidup berharokah bersama ikhwah. Di "komunitas" (Insya Allah) org2x baik. Kaum ghuroba sebagaimana masa para Nabi2x Allah dahulu. Khususnya Rasulullah SAW. 20 tahun scr manusiawi adalah umur pertengahan, kedewasaan. Dlm berharokah umur 20 tahun adalah umur yg tdk sebentar apalagi di banding yg baru berumur 2 tahun or 2 bulan berharokah.

Dimulai sejak masa SMA klas 1, tahun 1991-an. Mengalami & mengikuti berbagai mihwar da'awi. Dan transformasi mesin da'wah dr yg sirriyah hingga yg jahr (PK & PKS). Jahr karena bernuansa legal-konstitusional, serta go public.

Salah satu materi & praktek yg selalu jadi makanan sehari seorg aktivis or kader adalah MENSIKAPI KRITIK. Sbg bekalan psikologis yg pasti kepake bangets dlm hidup sehari-hari. Berikut kita simak, tips dari sang bapak harokah modern, Imam Syahid. Dlm mensikapi kritik. Silahkan di nikmati. ^_^


Kenangan Ustadz Hasan al-Banna Dalam Mensikapi Pengkritik

Sepenggal Kenangan Bersama Ustadz. Hasan Al banna Dalam Mensikapi Pengkritik

Article ini begitu berbekas dan mengganggu pikiran dan perasaanku. Terkadang membuatku ragu untuk terus berpijak. Tapi ketika kulihat kebencian itu begitu nyata dan tak pernah ada habisnya. Sepertinya ada sesuatu yang memaksaku untuk terus melaju. Entahlah, apakah ini nafsu, atau apa. Selalu ku mohon petunjuk-Nya untuk meringankan langkahku. Wallahi, hanya kebaikanlah yang ku harapkan. Tidak ada yang lain. Kecuali kebaikan…kebaikan…dan kebaikan….

Terima kasih Syaikh….

Sebuah artikel yang dimuat oleh harian umum al-Ahraam telah membuat Sang Imam dan murid-muridnya gelisah. Bagaimana tidak, artikel yang ditulis oleh si Fulan itu berisi pemikiran yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Si Fulan mengatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi manusia untuk menutup auratnya. Sebab secara fitrah, tiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang. Maka ia menyerukan agar budaya telanjang itu dilestarikan di tengah masyarakat Mesir.

Maka para ikhwan yang merasa marah, langsung membuat artikel bantahan dan siap dikirim ke harian umum yang sama. Namun sebelum itu, mereka mengutus seorang ikhwan bernama Mahmoud yang merupakan penulis artikel bantahan itu, untuk meminta pendapat dan izin dari Sang Imam.

“Ya, Ustadz. Bagaimana pendapat anda?” tanya Mahmoud pada Sang Imam yang tampak terdiam lama setelah membaca artikel bantahan itu.

“Akhi…” Sang Imam menatap Mahmoud. “Artikelmu ini sangat bagus dan penuh argumentasi yang jitu. Tapi…”

“Tapi apa ya, Ustadz?” tanya Mahmoud heran. Wajah Sang Imam yang teduh itu berubah galau. Ditatapnya artikel bantahan yang tergenggam di tangannya.

“Dalam pikiranku, tergambar beberapa dampak dari tulisanmu ini jika ia jadi dimuat,” ujar Sang Imam pelan sambil kembali menatap Mahmoud.

“Pertama, artikel yang ditulis si Fulan itu sangatlah tajam, menusuk hati kaum Muslimin. Sementara konsumen pembaca harian al-Ahraam itu sendiri relatif sedikit dibanding jumlah penduduk Mesir secara keseluruhan. Dan rata-rata, mereka tidak membacanya dengan serius.”

Mahmoud menyimak uraian Sang Imam dengan hati bertanya-tanya. Ia belum paham maksud gurunya itu.

“Jika kita menurunkan bantahan terhadap artikel tersebut, maka akan timbul beberapa titik rawan. Diantaranya, justru akan mengekspos artikel tersebut dan memancing keingintahuan bagi mereka yang belum membacanya. Sementara yang sudah membaca, akan kembali terpancing untuk membaca dengan serius. Dengan demikian, tanpa sadar kita telah memicu perhatian masyarakat kepada sesuatu yang buruk, yang bisa saja mendatangkan mudharat bagi orang-orang yang berjiwa lemah. Kalau artikel si Fulan itu kita diamkan saja, insya Allah ia akan tenggelam dengan sendirinya,” tutur Sang Imam pelan. Mahmoud masih tampak belum puas dengan penjelasan itu, meski ia mulai bisa meraba maksud gurunya.







(bersambung)

No comments: