Tuesday 23 February 2010

Drs Hanna Djumhana Bastaman MPSi: Psikologi Islami Bukan Sufi Healing

Kian maraknya problematika di tengah masyarakat dewasa ini, yang tak hanya dari segi kualitas tapi juga kuantitas, membutuhkan penanganan luar biasa untuk menyelesaikannya. Berbagai terobosan baru diupayakan, dan salah satunya adalah terapi psikologi Islami. Mungkin bagi sebagian kalangan, nama psikologi Islami masih terdengar asing. Ini bisa dimengerti karena seperti diutarakan oleh Ketua Dewan Pakar Asosiasi Psikologi Islami (API), Drs Hanna Djumhana Bastaman MPSi, ilmu tersebut memang belum lama dikembangkan, meski sudah muncul sejak tahun 60-an.

Sesuai namanya, psikologi ini agak berbeda dengan psikologi umum, lantaran salah satu titik bidiknya di samping kesehatan mental, adalah agar bagaimana meningkatkan kualitas keimanan seseorang. Dan dalam hal ini landasaannya jelas yakni Alquran. Diakui Hanna, tidak mudah untuk mengembangkan psikologi Islami sampai dapat diakui keberadaanya secara luas. "Masih banyak yang mempertanyakan, mengapa mesti memakai landasan Islam, apakah dengan psikologi umum tidak bisa sembuh?" urai Hanna.

Kendati demikian, ia mengaku optimis ke depan psikologi Islami dapat berkembang luas hingga mampu mengatasi persoalan-persoalan kejiwaan di masyarakat. Penjelasan Hanna menyangkut psikologi Islami secara umum, penerapan dan prospeknya yang terangkum dalam wawancara berikut ini :

Bagaimana respons masyarakat dan juga kalangan dunia ilmu pengetahuan menyangkut keberadaan psikologi Islami ini?
Kalau sejauh ini tidak ada yang anti, tapi umumnya memang masih wait and see. Menurut saya hal tersebut wajar saja mengingat psikologi Islami belum begitu jelas penerapannya. Ini kan bisa dikatakan sesuatu yang baru dirumuskan kembali, yakni bagaimana untuk mendekatkan sains dengan agama, yang dalam hal ini ilmu psikologi dengan Alquran. Oleh karenanya yang dijadikan landasan filsafat ilmu dari psikologi Islami adalah konsep manusia menurut Alquran.

Bagaimana prospek pengembangannya ke depan?
Saya lihat akan cukup bagus, dan itu antara lain ditandai dengan makin bertambahnya jumlah tenaga pengajar atau pun mahasiswa yang tertarik mendalami bidang pengetahuan ini. Demikian pula di sejumlah perguruan tinggi Islam, mereka misalnya sudah membuka mata kuliah Psikologi Islami. Serta pada program studi Timur Tengah dan Islam pun ada mata kuliah Psikologi dan Islam. Itu adalah tanda-tanda subur dan menunjukkan bakal berkembang pesatnya psikologi Islami di masa mendatang. Pada dasarnya usaha untuk meninjau upaya psikologi melalui pendekatan agama sudah cukup lama. Bila kita lihat ke belakang, pada tahun 60-an ibu Zakiah Darajat itu sudah mulai merintis adanya psikologi bercorak Islam. Tapi sifatnya masih sporadis. Nah kemudian pada simposium nasional tahun 1994 mereka semua dikumpulkan hingga muncul kesepakatan berkaitan dengan nama psikologi Islami sebab saat itu ada pula yang mengusulkan nama psikologi Qurani, psikologi tasawuf, dan sebagainya.

Menurut Anda, mengapa psikologi Islami ini perlu dikembangkan?
Kita sebenarnya punya alasan mengapa harus mengembangkan psikologi bercorak baru. Tapi terlebih dahulu harus diketahui bahwa psikologi Islami bukanlah modifikasi dari ilmu psikologi. Dasar pemikirannya berbeda. Psikologi Islami jelas, landasannya adalah Alquran. Bila psikologi umum hanya bertujuan untuk menuju ke kesehatan mental, psikologi Islami adalah mencapai kesehatan mental dan iman. Terkait dengan perkembangan zaman yang dikatakan sebagai the age of science and hi-tech dan juga the age of enterprise (abad perniagaan bebas), nyatanya justru banyak pula menimbulkan permasalahan. Kerusakan lingkungan, perlombaan senjata, kriminalitas, dan masih banyak lagi yang kesemua itu bermula dari krisis jati diri serta makin rendahnya penghayatan agama. Berkembangnya masalah kemanusiaan tersebut harus diperhatikan secara seksama terutama oleh para pakar ilmu. Termasuk pula bidang psikologi, maka perlu dikembangkan beragam pendekatan yang efektif dan terobosan-terobosan baru untuk menghadapinya.

Lantas mengapa yang dipilih adalah pendekatan spiritual?
Dalam dialog psikoterapi, selalu yang harus pertama kali dipahami adalah bagaimana potensi diri si pasien yang dapat dikembangkan. Misalnya kondisi fisik, kemampuan dan kualitas kejiwaan, dukungan keluarga atau lingkungan sekitar. Adapun kemudian logoterapi mengajarkan pada makna hidup serta mengakui adanya dimensi spiritual pada diri di samping dimensi ragawi, kejiwaan dan sosial budaya. Jadi bisa diketahui, begitu pentingnya dimensi spiritual ini terlebih eksistensi manusia ditandai oleh tiga hal; keruhanian, kebebasan dan tanggungjawab. Di sini, dimensi spiritual adalah sumber dari segala potensi, bakat, sifat maupun kualitas insani seperti hasrat untuk hidup bermakna, hati nurani, keindahan, keimanan, cinta kasih dan banyak lagi. Bahkan ada yang mengatakan, dimensi ruhani manusia adalah sumber kesehatan yang tidak pernah sakit sekalipun orangnya menderita sakit secara fisik dan mental. Daya keruhanian ini umumnya tidak disadari dan inilah yang perlu lebih disadari untuk meraih kehidupan bermakna.

Tujuan akhir psikologi Islami salah satunya adalah guna meningkatkan keimanan seseorang. Tapi bisakah diterapkan untuk non-Muslim?
Pada dasarnya psikologi Islami berlandaskan pada sunatullah yang sudah terdapat pada diri tiap-tiap manusia dan begitu pula wawasan manusia menurut ajaran Islam. Namun psikologi Islami bukan sufi healing serta tidak ada upaya untuk sakralisasi psikologi. Ini merupakan psikologi ilmiah dengan metodelogi ilmiah pula. Ya kekhususannya ada pada landasannya yakni citra manusia menurut Islam. Dengan demikian, psikologi Islami bukan untuk orang Islam semata, tapi orang non-Muslim pun bisa. Karena prinsip-prinsip yang digunakan adalah universal sifatnya. Ini hanya namanya saja psikologi Islami, kalau ada yang mengusulkan nama baru dan dirasakan cocok, ya bisa saja kemudian diganti. Silakan saja.

Maraji' :

http://www.ssffmp.or.id/berita/20691/Drs_Hanna_Djumhana_Bastaman_MPSi_Psikologi_Islami_Bukan_Sufi_Healing

No comments: